" Apakah Kita Orang Tua yang Dirindukan dan Selalu Dinanti Kehadirannya?"
Demikian kalimat pembuka yang saya sampaikan ketika mengisi kelas diskusi orang tua siswa di sekolah tempat saya mengabdi. Disampaikan dengan nada serius, sedikit menekan, menunjukkan betapa kalimat kunci tersebut sangat sarat makna dan pesan.
Para orangtua siswa pun dengan seksama memerhatikan kata demi kata, kalimat demi kalimat yang terucap dari mulut saya. Ya, sebagai orangtua, mungkin mereka merasa sangat penting untuk menyimak apa yang hendak saya sampaikan. Atau mungkin saja merasa ‘tersindir’ dengan kesimpulan tersebut.
Terlepas dari itu, saya secara pribadi sangat meyakini ungkapan pembuka tersebut.
Orangtua adalah sandaran paling kuat bagi saya. Bukan hanya itu, kehadirannya yang penuh makna dan kasih sayang selalu menghangatkan malam yang dingin. Kemampuannnya menyediakan lingkungan yang baik membuat saya bertumbuh dan mampu mengembangkan potensi.
Orangtua adalah teman pertama dan utama bagi saya dalam mengukir kenangan indah dan bahagia semasa hidup khususnya di masa kecil.
Bercermin dari mereka, sayapun ingin melakukan hal yang sama kepada anak-anak saya kelak. Meskipun saya sadar bahwa hal itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Melihat dan menelisik beberapa teman-teman yang sudah lebih dahulu menjadi orangtua, saya menyimpulkan bahwa tidaklah mudah untuk mengakui dan menyadari bahwa kita adalah orangtua secara lahir dan batin.
Katherine Ellison, jurnalis pemenang Pulitzer, editor, dan penulis ini, menyatakan bahwa menjadi orangtua akan membuat hidup kita menjadi lebih kreatif. Para orangtua biasanya memiliki motivasi untuk terus berkembang, selalu ingin memperbaiki diri, menjadi lebih visioner, tidak egois, bijaksana, lebih sabar, penuh syukur, bergairah menjalani hidup, lebih rajin, serta lebih mengenali sifat diri kita dan orang lain.
Namun nyatanya, menjadi “orangtua” tidak menjadi jaminan selamanya akan melahirkan kreatifitas, kebijaksanaan, kesyukuran, kesabaraan, visi masa depan--sebagaimana banyak terjadi di sekeliling kita, atau mungkin seperti pengalaman kita masing-masing.
Terkadang, kita punya hajatan keluarga, atau acara arisan teman kantor dan reunian sahabat lama. Lazimnnya, karena lama tak ketemu, sejumlah cerita dan kenangan akan diputar ulang kembali dalam acara tersebut. Demikian halnya dengan perkembangan karir, keluarga termasuk anak-anak menjadi bahan nostalgia bersama. Terasa ingin berlama-lama bersama teman lama. Curahan hati tak kunjung berakhir.
Namun, suasana bahagia tersebut acapkali terganggu dengan tingkah si kecil yang mulai rewel. Biasanya 15 menit sampai 30 menit pertama, si kecil masih bisa bersikap manis. Masih bisa diatur. Hanya saja, tak lama kemudian anak sudah mulai bertingkah. Susah diatur, bahkan menangis kencang, tidak mau diam.
Dalam kondisi seperti ini, seringkali saya menyaksikan orangtua kehilangan kendali. Kehilangan kesabaran, apalagi kreatifitas. Yang terjadi malah wajah mulai tak bersahabat, mata melotot, suara yang meninggi bahkan mencubit kiri kanan. Jadinya, bukannya anak bisa diam dan diatur malah semakin rewel dan menangis.
Atau pada kasus yang lain, misalnya, di pagi hari, dimana kita seharusnya bergegas bangun menyambut segarnya udara pagi. Sejatinya menyiapkan sarapan sehat dengan dengan penuh cinta, membelah hangatnya mentari dan menjemput karir yang cemerlang dengan penuh semangat.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, kecerian menjadi suram, semangat menjadi tekanan dan menegangkan. Urat syaraf mengencang, jantungpun berdetak kencang, suara meninggi dan mata melotot. Betapa tidak, waktu terasa cepat merampas kehangatan bersama keluarga di waktu pagi. Yang terngiang-ngiang hanyalah ketakutan terlambat masuk kerja. Dampaknya pun merembet ke mana-mana. Anak-anak pada khususnya. Semuanya serba tergesa-gesa. Anak-anak dipaksa mandi, sarapan bagaikan kilat, dan berangkat ke sekolah serba cepat. Akibatnya, hanyalah deraian air mata.
Bukan hanya itu, biasanya kata-kata nasehat terdengar seperti ancaman dan bentakan. Tetesan air mata yang mengalir dipipi si mungil menyertainya hingga sampai di sekolah. Hangatnya mentari tak sehangat perasan orangtua tersebut, lebih-lebih si anak. Pagi yang sejuk dan hari yang ceria hanya menjadi mimpi belaka baginya. Akhinya, kehangatan pagi berubah bagaikan neraka siap menerkam mereka.
Masihkah orangtua seperti itu terdekat dan tidak pernah menyakiti?
Tentu kita sepakat mengatakan “TIDAK”.
Lalu orangtua yang seperti apakah yang terdekat dan tidak pernah menyakiti? Orangtua yang bagaimanakah yang selalu dirindukan dan dinanti kedatangannya serta dicari oleh anak-anaknya? Jawabnya ada pada anak-anak.
Tanya mereka!
Apabila mereka sedang berada di samping kita, peluk dengan penuh kehangatan dan tanyalah! Karena sudut pandang mereka berbeda dengan sudut pandang kita. Jawaban yang akan kita peroleh dari mereka, saya pastikan, adalah jawaban luar biasa di luar dugaan kita
By : Sahabat TerbaikQ (JUsmiati Usman, S.Psi, Psikolog)
0 komentar:
Posting Komentar