Jumat, 12 Februari 2016
Saatnya untu Menghilangkan sisa Kolonialisme Warisan Penjajah di Wajah Pendidikan Indonesia
Bagikan →
|
|
Apabila kita bertanya mengapa kurikulum sekolah di Indonesia sedemikian berbeda dengan kurikulum sekolah di Amerika, maka jawaban yang paling sederhana adalah karena kita mewarisi kurikulum “budaya” kolonial Belanda sebagai pihak yang meletakkan dasar pendidikan di Indonesia saat mereka “hadir” selama 350 tahun lamanya.
Namun ternyata tidak hanya model kurikulum pendidikan saja yang ditanamkan oleh para kolonial tersebut di Indonesia, kemana kita hendak mengambil jurusanpun terpengaruh oleh akal-akalan mereka. Mengapa demikian? Kita tentu masih ingat saat kita SMA dahulu harus menjalani test IQ untuk penjurusan. Umumnya sekolah menetapkan bahwa murid dengan IQ tinggi bisa masuk ke jurusan IPA (A1/A2). Murid dengan IQ sedang sebaiknya masuk jurusan IPS (Sosial/A3) dan sisanya hanya mendapat kursi di jurusan Bahasa (A4). Di sinilah ternyata pengaruh akal-akalan para kolonial masih bersisa pada kita sampai saat ini.
Romo Mangun Wijaya (alm.) pernah berpendapat bahwa anak-anak yang kecerdasannya tinggi seharusnya juga diarahkan untuk masuk jurusan Sosial agar di masa mendatang akan lahir ekonom, hakim, jaksa, pengacara, polisi, diplomat, duta besar, maupun politisi yang hebat. Namun rupanya hal seperti ini tidak dikehendaki oleh penguasa (Belanda). Penguasa menginginkan anak-anak yang cerdas tidak memikirkan masalah sosial politik. Mereka cukup diarahkan untuk menjadi tenaga ahli/scientist, arsitektur, ahli matematika atau dokter yang hanya akan asyik dengan science di laboratorium sehingga tidak membahayakan posisi penguasa.
Paradigma akal-akalan Belanda ternyata masih sangat mempengaruhi pola berpikir orang tua/masyarakat kita saat ini, bahkan turut mempengaruhi konsep kesuksesan pada diri anak.
Pada suatu kesempatan, di muka 800-an anak, Kak Seto menunjukkan 5 Rudy:
1 : Rudy Habibie (BJ Habibie) – genius, penggagas IPTN.
2 : Rudy Hartono – juara bulu tangkis kelas dunia.
3 : Rudy Salam – pemain film dan sinetron.
4 : Rudy Hadisuwarno – seniman kecantikan.
5 : Rudy Choirudin – ahli kuliner / memasak.
Kak Seto pun bertanya, “Rudy yang mana yang paling sukses menurut kalian?”
Hampir semua anak menjawab “Rudy Habibie”
Sewaktu ditanyakan “Mengapa kalian bilang bahwa yang paling sukses Rudy Habibie?”
Anak-anakpun menjawab, “Karena bisa membuat pesawat terbang.”
Sewaktu Kak Seto menanyakan “Rudy yang mana yang paling tidak sukses?”
Hampir seluruh anak menjawab “Rudy Choirudin”
Ketika ditanyakan “Mengapa kalian mengatakan bahwa Rudy Choirudin bukan orang yang sukses?”
Anak-anakpun menjawab, “Karena Rudy Choirudin hanya bisa memasak”
Masyarakat kita umumnya masih beranggapan bahwa IQ adalah segala-galanya. Namun pada kenyataannya EQ, SQ dan faktor-faktor lain juga sangat menentukan kesuksesan seseorang.
Kesuksesan di sini tentunya jangan hanya diukur dari seberapa besar penghasilan seseorang, namun juga sampai sejauh mana ia dapat mengembangkan talentanya secara optimal sehingga bisa dimanfaatkan dalam kehidupan yang akan dijalaninya.
Anak-anak dan orang tua harus menyadari dan mensyukuri setiap talenta yang diberikan oleh Tuhan. Bila talenta tersebut dikembangkan dengan baik, maka kita bisa mencapai kesuksesan di “bidangnya”. Jadi untuk anak-anak yang tidak pintar matematika, tentunya mereka tidak perlu minder dan orang tua tidak perlu malu atau menekan anak. Anak yang lebih menyukai pelajaran menggambar tentunya tidak serta merta dikategorikan sebagai anak yang bodoh, karena menggambar memerlukan imajinasi serta ide yang tinggi, yang menjadi dasar sebuah penemuan baru. Anak yang suka mendominasi pembicaraan pun, kalau kita arahkan dengan baik kelak dapat menjadi politisi atau negotiator yang ulung.
Kitapun sebaiknya meyakini bahwa Tuhan menciptakan setiap kita (manusia) dengan maksud yang terbaik demi kemuliaan-Nya. Kalau saja kita meyakini hal tersebut, maka semua orang akan mensyukuri keadaan dan memanfaatkan talenta yang Tuhan berikan untuk kemuliaan-Nya.
#jendela hati
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Setiap anak berpotensi meraih prestasi tertinggi dalam bidang yang mereka tekuni. Tetapi kenyataannya hanya sedikit sekali anak yang berhasil meraih prestasi. Mengapa? Kita memerlukan pendekatan pembelajaran yang revolusioner. Sebuah pendekatan yang melejitkan potensi belajar setiap anak, melejitkan potensi kreatif dan inovatifnya.
Popular Posts
-
Kadang saat karnaval kita bingung untuk memilih tema yang menarik, kali ini kami akan berbagi tips untuk memilih tema yang unik dan mena...
-
Semangat pagi guru-guru hebat Indonesia Kali ini, kami akan men-share Juknis Apresiasi GTK PAUD DIKMAS 2018 Ayo ibu-ibu guru, khususn...
-
Ayo mampir ke acara “Pekan Raya Pinrang 2018” mulai tanggal 24-31 Maret 2018 Di Lapangan Bosowa Pinrang Ada Pameran Multi produk, BUMN, ...
Arsip Artikel
-
►
2013
(2)
- ► Desember 2013 (2)
-
►
2015
(20)
- ► Agustus 2015 (13)
- ► September 2015 (5)
- ► Desember 2015 (2)
-
▼
2016
(2)
- ► September 2016 (1)
-
►
2017
(11)
- ► Januari 2017 (1)
- ► Februari 2017 (1)
- ► Oktober 2017 (1)
- ► November 2017 (6)
- ► Desember 2017 (2)
-
►
2018
(31)
- ► Januari 2018 (1)
- ► Februari 2018 (2)
- ► Maret 2018 (9)
- ► April 2018 (6)
-
►
2019
(15)
- ► Januari 2019 (1)
- ► Maret 2019 (7)
- ► September 2019 (1)
- ► Oktober 2019 (1)
- ► November 2019 (1)
- ► Desember 2019 (4)
-
►
2020
(5)
- ► Januari 2020 (1)
- ► April 2020 (1)
- ► Oktober 2020 (1)
- ► November 2020 (1)
- ► Desember 2020 (1)
-
►
2021
(3)
- ► Januari 2021 (2)
- ► Agustus 2021 (1)
-
►
2022
(1)
- ► Oktober 2022 (1)
-
►
2023
(1)
- ► Agustus 2023 (1)
0 komentar:
Posting Komentar